Dua bulan terakhir ini hidup saya sungguh saya rasakan sangat berarti dan bermanfaat, kenapa? karena saya mendapatkan amanah dengan tem...
Dua bulan terakhir ini hidup saya sungguh saya rasakan sangat berarti dan bermanfaat, kenapa? karena saya mendapatkan amanah dengan teman-teman alumni SMA saya yang lain, menjadi Panitia Reuni. Dengan embel-embel REUNI AKBAR 2010 yang merupakan reuni dari angkatan lulusan pertama yaitu tahun 1968 sampai lulusan 2010, maka reuni kali ini kami targetkan 1000 alumni akan hadir, mengingat kalau ditotal ada sekitar 8000 alumni yang sudah dihasilkan dari SMA saya. Begitukah???? Ternyata setelah di patok Rp. 50.000 tiketnya per alumni, banyak yang keberatan dengan harga segitu. Akhirnya setelah mendapat support dari alumni-alumni yang begitu cintanya kepada SMAnya dulu, maka terkumpulah dana untuk terselenggara reuni akbar tanpa membebani peserta yang mau ikut, peserta hanya dibebani biaya makan saja yaitu Rp. 30.000,- Saya sudah cukup optimis dengan penurunan tiket reuni ini maka akan banyak yang segera mendaftar. Tapi ternyata oh ternyata, masih juga saya dengar suara-suara yang mengatakan tiket masih kemahalan. Hemmmmm rupanya ada juga yang rasa cinta kepada almamater tidak bisa mengalahkan rasa cintanya kepada Uang. Sekarang saya malah yakin, seandainya reuni ini pun gratis, pasti mereka juga tidak akan datang, uang bukanlah faktor sebenarnya, karena itu rasanya hanya dijadikan alasan saja untuk menghindar dari kehadirannya dalam acara reuni.
Saya punya pengalaman dulu saat masih fresh meninggalkan bangku SMA dan kuliah disemester-semester awal, kami satu kelas pernah mengadakan reuni di kawasan Kaliurang. Saat itu saya “hanya” kuliah di PTS, tidak seperti kebanyakan teman-teman saya yang kuliah di PTN-PTN ternama, awalnya ada juga rasa ragu, malu, malas, minder dlll campur aduk jika mau ikut reuni. Bagaimanapun reuni adalah ajang saling bertanya kabar masing-masing, kuliah dimana, sudah punya pacar belum, kegiatannya apa, dll. Saat menghadiri reuni, mau tidak mau kita harus berani berkata jujur, atau tidak jujur sekalian tentang diri kita. Buka topeng selebar-lebarnya, atau pasang topeng sebaik-baiknya.
Begitulah, mungkin sekali kondisi psikologis seperti ini sekarang terjadi pada teman-teman alumni, ada yang minder, ada yang malas bertemu dengan teman, dll. Karena merasa dirinya tidak sukses selepas SMA. Padahal yang paling penting adalah, bangga dan yakin dengan pencapaian yang telah kita raih sampai saat ini. Ini lho AKU apa adanya. Saya salut ketika ada teman alumni wanita yang sekarang menjadi Ibu rumah tangga, tetapi begitu antusias mendaftar tanpa ba bi bu, pinginnya satu saja, kapan lagi bisa berkumpul dengan teman SMA kalua sekarang tidak ikutan reuni. Tetapi ada juga saya jumpai yang merasa kurang PD karena statusnya hanya sebagai ibu rumah tangga, padahal sungguh saya paling kagum dan salut juga sangat menghargai wanita yang PD dan bangga menjadi ibu rumah tangga.
Tidak dipungkiri bahwa reuni bagaimanapun menjadi ajang untuk unjuk diri, baik kita mengakuinya atau tidak, tentu saja akan ada dialog dialog seperti ini: piye kabare? bojomu diajak ora? anakmu piro? kerjo neng ngendi? dll itu adalah pertanyaan wajar dan alami, menjadi terasa tidak wajar dan alami jika kita sendiri yang merasa sensitif, tidak menyadari keadaaan dan tidak menerima keadaan kita sendiri secara jujur.
Reuni sangat mungkin mempertemukan teman akrab saat sma, tetapi perlu diingat bahwa teman akrab saat sma, sekarang ini belum tentu menjadi teman akrab kita lagi, ada jarak? yang tentu saja akan ada, jadi bersikap akrab boleh tapi tidak berlebihan, kita harus menyadari pula mungkin teman akrab kita perlu dihormati berhubung dengan profesinya sekarang ini, hal itu tidak terbantahkan.
Reuni SMA saya diadakan saat lebaran hari kelima, baru saya sadari bahwa antar angkatan ternyata masih tetap ada ikatan dan hubungan yang erat, minimal antar teman sekelas, sehingga mereka di bulan ramadhan ini masih tidak lupa mengadakan buka puasa bersama. Hal yang luput dari pemikiran panitia, yaitu setelah ketemuan di buka bersama, bisa jadi reuni terasa hambar bagi mereka. Tetapi nuansa reuni akbar tentu beda dengan nuansa buka bersama hanya dengan teman satu kelas, reuni akbar tentu lebih besar dalam membangkitkan memori pada dua tingkat kakak kelas, dan dua tingkat adik kelas, tentu banyak sekali dulu kenangan bersama mereka, itu yang tidak bisa didapat dengan hanya buka bersama atau reuni kelas, atau bahkan reuni satu angkatan.
Reuni akan menyenangkan bagi yang suka bergaul, tapi akan ditanggapi dingin saja bagi alumni yang tidak suka bertemu dengan teman-temannya dulu. Manusiawi memang.
Saya punya pengalaman dulu saat masih fresh meninggalkan bangku SMA dan kuliah disemester-semester awal, kami satu kelas pernah mengadakan reuni di kawasan Kaliurang. Saat itu saya “hanya” kuliah di PTS, tidak seperti kebanyakan teman-teman saya yang kuliah di PTN-PTN ternama, awalnya ada juga rasa ragu, malu, malas, minder dlll campur aduk jika mau ikut reuni. Bagaimanapun reuni adalah ajang saling bertanya kabar masing-masing, kuliah dimana, sudah punya pacar belum, kegiatannya apa, dll. Saat menghadiri reuni, mau tidak mau kita harus berani berkata jujur, atau tidak jujur sekalian tentang diri kita. Buka topeng selebar-lebarnya, atau pasang topeng sebaik-baiknya.
Begitulah, mungkin sekali kondisi psikologis seperti ini sekarang terjadi pada teman-teman alumni, ada yang minder, ada yang malas bertemu dengan teman, dll. Karena merasa dirinya tidak sukses selepas SMA. Padahal yang paling penting adalah, bangga dan yakin dengan pencapaian yang telah kita raih sampai saat ini. Ini lho AKU apa adanya. Saya salut ketika ada teman alumni wanita yang sekarang menjadi Ibu rumah tangga, tetapi begitu antusias mendaftar tanpa ba bi bu, pinginnya satu saja, kapan lagi bisa berkumpul dengan teman SMA kalua sekarang tidak ikutan reuni. Tetapi ada juga saya jumpai yang merasa kurang PD karena statusnya hanya sebagai ibu rumah tangga, padahal sungguh saya paling kagum dan salut juga sangat menghargai wanita yang PD dan bangga menjadi ibu rumah tangga.
Tidak dipungkiri bahwa reuni bagaimanapun menjadi ajang untuk unjuk diri, baik kita mengakuinya atau tidak, tentu saja akan ada dialog dialog seperti ini: piye kabare? bojomu diajak ora? anakmu piro? kerjo neng ngendi? dll itu adalah pertanyaan wajar dan alami, menjadi terasa tidak wajar dan alami jika kita sendiri yang merasa sensitif, tidak menyadari keadaaan dan tidak menerima keadaan kita sendiri secara jujur.
Reuni sangat mungkin mempertemukan teman akrab saat sma, tetapi perlu diingat bahwa teman akrab saat sma, sekarang ini belum tentu menjadi teman akrab kita lagi, ada jarak? yang tentu saja akan ada, jadi bersikap akrab boleh tapi tidak berlebihan, kita harus menyadari pula mungkin teman akrab kita perlu dihormati berhubung dengan profesinya sekarang ini, hal itu tidak terbantahkan.
Reuni SMA saya diadakan saat lebaran hari kelima, baru saya sadari bahwa antar angkatan ternyata masih tetap ada ikatan dan hubungan yang erat, minimal antar teman sekelas, sehingga mereka di bulan ramadhan ini masih tidak lupa mengadakan buka puasa bersama. Hal yang luput dari pemikiran panitia, yaitu setelah ketemuan di buka bersama, bisa jadi reuni terasa hambar bagi mereka. Tetapi nuansa reuni akbar tentu beda dengan nuansa buka bersama hanya dengan teman satu kelas, reuni akbar tentu lebih besar dalam membangkitkan memori pada dua tingkat kakak kelas, dan dua tingkat adik kelas, tentu banyak sekali dulu kenangan bersama mereka, itu yang tidak bisa didapat dengan hanya buka bersama atau reuni kelas, atau bahkan reuni satu angkatan.
Reuni akan menyenangkan bagi yang suka bergaul, tapi akan ditanggapi dingin saja bagi alumni yang tidak suka bertemu dengan teman-temannya dulu. Manusiawi memang.